05.47

BUDAYA CANGKRUK SEBAGAI SISTEM INTERAKSI MASYARAKAT TEBUWUNG

Istilah cangkruk mungkin masih terasa sangat asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Tapi bagi masyarakat Gresik, Jawa Timur khususnya masyarakat Tebuwung dan sekitarnya, cangkruk merupakan istilah yang sangat populer dan merakyat.
Cangkruk, demikian istilah orang Tebuwung untuk menyebut aktivitas duduk-duduk di warung sambil mengobrol santai. Cangkruk menggambarkan aktivitas nongkrong bareng, ngobrol ngalor-ngidul dari pagi, siang bahkan sampai malam hari, biasanya dilakukan di pinggir jalan, warung kopi, dan pos ronda. Para pelakunya tidak pandang usia mulai anak-anak, para ABG yang masih mencari jati diri, bapak-bapak yang sedang ronda, bahkan kakek-kakek, atau gabungan dari semuanya. Kebiasaan cangkruk yang terus menerus ini tanpa disadari telah menjadi budaya, tak terkecuali di Tebuwung, Dukun, Gresik.
Tema obrolan cangkruk pun beragam, seperti obrolan ringan dengan sesama teman cangkruk, gurauan-gurauan yang mengundang tawa, saling bertukar informasi mulai dari info tentang pekerjaan hingga info kontak jodoh, saling bertukar pengalaman mulai dari masalah pekerjaan hingga masalah pacar, saling berdiskusi tentang segala sesuatu yang sedang up to date di Indonesia, seperti masalah korupsi hingga persoalan tindak asusila oleh artis yang diduga mirip artis Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari. Pokoknya, setiap ada yang nyeletuk pasti jadi tema obrolan yang menarik dan di setiap cangkrukan pasti ada informasi yang tersampaikan. Bahasa yang disampaikan dalam cangkruk juga ringan karena para pencangkruk biasanya memiliki segudang pengetahuan atau pengalaman yang patut untuk diperbincangkan.
Di setiap cangkruk, khususnya di warung yang namanya kopi seringkali menemani akivitas duduk-duduk tersebut. Cangkruk dan kopi merupakan “dua sejoli” yang selalu “memadu kasih”. Cangkruk tanpa kopi ibarat dangdut tanpa goyang, atau ibarat kuah tanpa garam. Selain cangkruk dan kopi, rokok (K.R) juga seringkali menemani cangkruk yang bisa juga diibaratkan sebagai “cinta segitiga” (Cangkruk Kopi – dan Rokok). Sambil cangkruk, minum kopi atau minuman lainnya yang tersedia atau bahkan menghisap rokok, para pencangkruk dapat dengan santai menonton televisi, membaca koran, atau mendengarkan musik radio yang difasilitasi oleh pemilik warung yang dapat menambah kenyamanan pada saat cangkruk.
Pandangan masyarakat terhadap cangkruk juga beragam. Bagi para pencangkruk, cangkruk jelas positif minimal untuk menghilangkan stress. Pandangan yang negatif juga ada, karena bukan rahasia lagi kalau diantara kelompok-kelompok cangkrukan ada juga yang menyelingi permainan kartu dengan judi kecil-kecilan dan bahkan minum-minuman keras. Tapi tidak semua cangkrukan berujung negatif.
Terlepas dari dampak negatifnya, budaya cangkruk adalah sebuah bukti kuatnya sistem interaksi yang berkembang di masyarakat
Tebuwung, di dalamnya terdapat diskusi “ngalor-ngidul”, silaturrahmi, dan transaksi ekonomi. Tanpa disadari, budaya cangkruk juga mempengaruhi perilaku ekonomi masyarakat Tebuwung. Perkembangan budaya cangkruk ini membawa pengaruh positif dalam peningkatan pendapatan masyarakat Tebuwung. Karena dengan adanya budaya cangkruk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Tebuwung untuk membuka lapangan usaha (membuka warung) yang dapat dijadikan sumber pemasukan ekonomi untuk menghidupi diri dan keluarganya. Tetapi, di lain pihak dapat mengakibatkan perilaku konsumtif bagi para pencangkruk karena kegiatan cangkruk  seperti yang telah penulis kemukakan di atas – tidak lepas dari minum kopi dan menghisap rokok. Sehingga dapat dimungkinkan mereka akan sering membelanjakan uangnya untuk memenuhi kebutuhannya dalam kegiatan cangkruk tersebut. Selain cangkruk menghabiskan pendapatan, cangkruk juga menghabiskan waktu. Waktu terkadang terbuang dengan percuma untuk sekadar membahas tema yang tidak bermanfaat, bahkan tema yang dibahas bisa ”menghakimi” orang lain.
Berdasarkan fakta tersebut, ada beberapa saran yang dapat dilakukan oleh masyarakat Sambogunung. Pertama, hendaknya para pemilik warung dapat memberikan kenyamanan yang dapat dinikmati oleh pecangkruk, kenyamanan disini dapat diartikan pelayanan yang ramah, rasa kopi atau minuman lainnya yang dapat dinikmati, memberikan berbagai macam hiburan seperti televisi, radio, dan surat kabar.
Kedua, hendaknya para pencangkruk dapat membatasi konsumsinya saat mencangkruk, terutama dalam mengonsumsi rokok. Rokok dapat menyebabkan ketagihan sehingga orang yang merokok akan selalu mengonsumsi rokok. Hal ini dipastikan dapat mengurangi pendapatan yang diperoleh pencangkruk.
Ketiga, hendaknya para pecangkruk mengerti waktu. Tidak semua pencangkruk mengerti waktu, misalnya ketika adzan maghrib berkumandang masih ada pecangkruk menikmati cangkrukan sambil ”arogan” menghisap rokok yang dipegangnya.
Keempat, hendaknya para pecangkruk mengerti tema yang dibahas. Jangan sampai tema yang diangkat adalah tema yang “menghakimi” atau mencari kejelekan orang lain sehingga keluar dari norma agama dan masyarakat.
My Great Web page